Rabu, 04 Juni 2008

Pelestarian Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Desa Adat Ubud, Kabupaten Gianyar

Oleh: Siti Patimah

Pola permukiman tradisional Bali memiliki tipologi yang berangkat dari tatanan tradisi yang berdasarkan adat dan kepercayaan (Agama Hindu) yang dikenal sebagai pola hunian yang mewadahi suatu masyarakat yang cukup ketat berpegang pada unsur sistem budayanya, terutama kepercayaan atau religi dengan segala nilai, kaidah, norma dan aturan-aturannya. Keunikan pola ruang dan arsitektur bangunan di Desa Adat Ubud merupakan wujud konsep penataan ruang umat Hindu. Daya tarik yang dimiliki Kelurahan Ubud merupakan faktor penarik wisatawan datang ke Desa Adat Ubud yang memberi pengaruh kuat dari luar. Kenyataan yang ada di lanpangan menunjukkan telah terjadi berbagai pergeseran pola ruang, terutama dipengaruhi berkembangnya sektor ekonomi jasa pariwisata, meskipun kawasan Desa Adat Ubud telah ditetapkan sebagai kawasan wisata budaya melalui SK Bupati Gianyar No. 2479 tahun 1995 dan di arahkan sebagai kawasan pelestarian melalui Rencana Detail Tata Ruang Kawasan pariwisata Ubud. Pola tata ruang permukiman serta gaya arsitektur tradisional Desa Adat Ubud merupakan salah satu bentuk pusaka budaya yang kaya akan nilai sejarah, filosofi, seni dan budaya, sehingga perlu untuk dilestarikan.

Tujuan penelitian Pelestarian Pola Tata Ruang permukiman Tradisional Desa Adat Ubud adalah untuk mengetahui karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Ubud, mengetahui karakteristik pola tata ruang permukiman tradisional Desa Adat Ubud serta mengetahui dan menyusun arahan pelestarian pola tata ruang permukiman tradisional Desa Adat Ubud. Wilayah penelitian adalah Desa Adat Ubud dengan materi pembahasan meliputi sejarah dan perkembangan Desa Adat, Arsitektur Bali Kuno, dan budaya bermukim masyarakat Bali; gambaran umum Desa Adat Ubud; tinjauan kebijakan peraturan pemerintah dan Desa Adat Ubud; karakteristik sosial budaya; pola tata ruang permukiman tradisional; persepsi terhadap pelestarian; permasalahan pelestarian; dan arahan pelestarian pola tata ruang. Jenis penelitian merupakan penelitian terapan (applied research, practical research) dengan metode analisis perpaduan antara metode deskriptif dan analitis.

Karakteristik masyarakat Desa Adat Ubud dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan. Sistem pemerintahan, terdapat dua pemerintahan, yaitu pemerintahan dinas dan adat yang memimpin masyarakat Desa Adat Ubud sekaligus. Sistem kelembagaan terdapat lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat Desa Adat Ubud yang bergerak dalam bidang ekonomi, kemasyarakatan dan religi. Sistem kemasyarakatan, terdapat pola hubungan yang dapat dibedakan antara hubungan dalam keluarga dan hubungan antar warga desa. Dari kehidupan ekonomi, jenis pekerjaan masyarakat Desa Adat Ubud cukup beragam yang cenderung pada sektor perdagangan dan jasa pendukung pariwisata. Kehidupan budaya dan religi, menunjukkan budaya tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun dalam beberapa aktivitas budaya telah terjadi variasi.

Karakteristik tata ruang permukiman tradisional Desa adat Ubud meliputi tata ruang desa (makro) dan tempat tinggal (mikro). Tata ruang desa (makro) menunjukkan penataan ruang desa beserta fasilitas adat yang ada di Desa Adat Ubud telah dikonsepsikan sesuai dengan konsep penataan ruang Hindu, walaupun dibeberapa sisi telah mengalami pergeseran, tipologi desa termasuk dalam tipe Desa Dataran, pola penggunaan lahan Desa Adat Ubud telah mengalami perkembangan sejalan dengan semakin bertambahnya kebutuhan akan lahan permukiman, pola perkembangan desa menunjukkan adanya pola ganda, di satu pihak memusat kembali ke pusat desa dan kembali ke wilayah pinggiran desa. Tata ruang tempat tinggal tradisional (mikro) menunjukkan penataan ruang tempat tinggal tradisional di Desa Adat Ubud secara umum masih dikonsepsikan berdasarkan konsep tradisional masyarakat Hindu, walaupun telah terjadi berbagai perkembangan. Terdapat tujuh macam tipologi tempat tinggal yang ada di Desa Adat Ubud berdasarkan kelengkapan bangunan, fungsi tempat tinggal dan tata letak bangunan.

Arahan pelestarian meliputi pelestarian fisik dan non fisik. Untuk arahan fisik meliputi preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi dan adaptasi. Arahan pelestarian non fisik ditinjau dari segi ekonomi, sosial dan hukum. Secara ekonomi dengan insentif pajak, alokasi dana bantuan dari pemerintah, menjalin kerjasama antara pemerintah (dinas dan adat) dengan pihak swasta, pemberian subsidi, pengenaan denda materi dan teguran, serta meningkatkan keterlibatan swasta dan masyarakat. Secara sosial adalah pemberian bonus, promosi, pengadaan forum, kemudahan perijinan, mempersiapkan SDM, pembinaan seni dan budaya serta pembinaan mental dan spiritual. Secara hukum adalah pengesahan dan penetapan Perda Cagar Budaya, pendaftaran bangunan cagar budaya, pemberlakuan ijin khusus, penetapan aspek kelestarian dalam Master Plan Tata Ruang Kota, penyusunan panduan atau pedoman perencanaan dan perancangan yang bersifat teknis, serta penyempurnaan Awig-awig Desa Adat.

Kata kunci: Pelestarian, Tata ruang, Permukiman, Tradisional

References

Alit, I Ketut. 2004. Morfologi Pola Mukiman Adati Bali. Jurnal Permukiman Natah. Vol. 2 No. 2, Agustus, hlm. 96 – 107

Antariksa. 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal Plannit. Vol. 2. No. 2, Desember. hlm. 98 – 112

Arsana, I Ketut Gde, et al. 1992. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat Di Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bagus, I Gusti Ngurah. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Balai Pustaka

Catanese, Anthony J., James C. Snyder. 1992. Perencanaan Kota (ed.). Jakarta: Erlangga

Danisworo, Muhammad. 1995. Arsitektur Kota Lama. Makalah dalam Lokakarya Pariwisata Perkotaan, Pengembangan Sumber Daya alam dan Lingkungan Binaan di Kota Sebagai basis pariwisata Perkotaan. Bandung: Pusat Penelitian Pariwisata dan Program Studi Pembangunan Program Pasca Sarjana ITB

Dharmayuda, I Made Suasthawa. 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali. Denpasar: PT. UPADA SASTRA

Erwin, Bambang. 2000. Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Bersejarah. Jurnal Emas FT UKI. Tahun X No. 23,November, hlm 19 – 28

Fitch, James Marston. 1990. Historic Preservation. London: The University press Of Virginia Charlottesville

Gelebet, I Nyoman at al. 1985. Arsitektur tradisional Daerah Bali. Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali

Nuraini, Cut. 2004. Permukiman Suku Batak Mandailing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Parimin, Ardi P. 1986. Fundamental Study on spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concept in Bali. Disertasi. Tidak diterbitkan

Parwata, I Wayan. 2004. Dinamika Permukiman Perdesaan Pada Masyarakat Bali. Denpasar: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Pontoh, Nia Kurniasih. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori. Jurnal PWK. No. 6, Triwulan IV, Desember. hlm. 34 – 39

Putra, I Gusti Made. 2005. Catuspatha Konsep, Transformasi dan Perubahan. Natah. No. 2. Agustus. Hlm. 62-70

Samadhi, T. Nirarta. 2004. Perilaku dan Pola Ruang. Malang: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Nasional.

Sukawati, Tjok. A.A. 2004. Ubud Bergerak. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa

Tanudirjo, Daud A. 2003. Warisan Budaya untuk Semua Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah Kongres Kebudayaan V. Bukit Tinggi. www.purbakala .net

Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2004. Tata Letak Tanah dan Bangunan Pengaruhnya Terhadap Penghuninya. Surabaya: Paramita

Wikantiyoso, Respati. 1997. Konsep Pengembangan : Transformasi Pola Tata Ruang Tradisional Studi Kasus: Permukiman Tradisional Jawa di Kotagede Yogyakarta-Indonesia. Science. No. 37. Juli. Hlm. 25-33

PENERAPAN SENI TATA RUANG TRADISIONAL

PENERAPAN SENI TATA RUANG TRADISIONAL

SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA BANGSA

STUDI KASUS DESA UBUD KECAMATAN UBUD

KABUPATEN GIANYAR

OLEH: Siti Patimah

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya (2005)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

n Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya (Bagus dalam koentjaraningrat, 1971).

n Pada kenyataannya struktur pola perkampungan Bali terbentuk berdasarkan pada tata arsitektur tradisionil, yang berorientasi pada arah ulu - teben atau kaja-klod dengan konsep Tri Hita Karana (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977).

n Desa Ubud merupakan salah satu desa adat yang menggunakan konsepsi kosmis serta konsep tri hita karana dalam pengaturan ruang desanya.

n Seni tata ruang tradisional Desa Ubud ini merupakan seni yang memperkaya budaya bangsa dengan karakteristiknya sehingga dapat berperan sebagai identitas bangsa.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep tata ruang tradisional desa Bali?

2. Bagaimanakah pola tata ruang eksisting pemukiman penduduk yang ada di Desa Ubud Bali?

1.3. Tujuan

1. Menganalisa konsep tata ruang tradisional desa Bali

2. Menganalisa pola tata ruang eksisting pemukiman penduduk yang ada di Desa Ubud Bali.

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup wilayah dalam penulisan karya tulis ini adalah Desa Ubud Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar. Pembahasan meliputi masalah konsep penataan ruang dan perwujudan penataan ruang yang ada di Desa Ubud Bali.

METODE PEMBAHASAN

Metode analisis yang digunakan meliputi:

· Analisis deskriptif

Analisa ini digunakan untuk menggambarkan konsep-konsep tata ruang yang ada di Bali umumnya dan Desa Ubud khususnya.

· Analisis evaluatif

Analisa ini digunakan untuk mengevaluasi penerapan tata ruang antara konsep dan kenyataan di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Tata Ruang Tradisional Bali

Konsep tata ruang rumah (pola mikro)

Secara umum konsep tradisional tata ruang yang ada di Bali terdapat tiga kelompok nilai yaitu nista, madia dan utama, yang mengikuti garis horizontal dan vertikal. Dalam pola lingkungan, nilai yang utama diberikan kepada pada arah “kaja” yaitu menunjuk arah gunung. Sedangkan untuk nilai nista diberikan pada arah “kelod” yakni menunjuk arah ke laut.

Rumah sebagai suatu unit aktivitas keluarga ditata berdasarkan arah mata angin, seperti halnya dengan penataan ruang dalam pengertian yang lebih luas. Arah kaja dan kangin menempati posisi luan sedangkan kauh dan kelod menempati posisi teben. Antara luan dan teben terdapat pekarangan tempat mendirikan bangunan rumah serta bangunan lain disebut bagian madia atau tengah.

Dasar arsitektur tradisional Bali berdasar pada pembagian tiga atau juga disebut sebagai konsep Tri Angga. Konsep yang bermakna lebih luas juga digunakan istilah Tri Hita Karana, yang pada dasarnya mengandung tiga prinsip pokok yaitu pemberian derajat-derajat nilai ruang berkenaan dengan suci dan profan.

Konsep tata ruang desa (pola makro)

Konsep-konsep dasar yang diterapkan pada tata ruang mikro pada umumnya juga digunakan sebagai dasar penentuan pola tata ruang desa atau dapat dikatakan pola tata ruang rumah merupakan miniatur dari pola tata ruang desa.

Masyarakat Bali terkenal dengan ciri loyalitas etnis terhadap desanya sendiri. Hal tersebut merupakan hakekat yang selalu ada pada setiap masyarakat desa di Bali. Konsep desa yang terbentuk merupakan persepsi dari seluruh bagian hidup di satu ruang yaitu goa gerba yang lazimnya disebut desa. Persepsi loyalitas etnis ini menyebabkan mereka memandang semua warga desanya sebagai keluarga (tunggal desa). Perwujudan dari perasaan bersama itu dituangkan melalui adanya pusat pemujaan desa yang disebut kayangan tiga. Sebagai suatu pusat orientasi bersama, maka semua warga tadi dapat dikelompokkan ke dalam satu desa adat. Dalam skala yang lebih bersifat administratif loyalitas yang lebih luas yaitu terhadap struktur pemerintahan dinas, yang lazimnya disebut keperbekelan ataupun kelurahan.

Pola Tata Ruang Eksisting Pemukiman Yang Ada Di Desa Ubud Bali

Pola tata ruang rumah Desa Ubud

Struktur pola menetap atau perumahan menurut pandangan arsitektur Bali secara keseluruhannya adalah lambang daripada Tribhuawana. Konsep rwabhineda masih diterapkan didalam pola perumahan dan bangunan-bangunan dalam arsitektur di Desa Ubud yaitu dengan memperhatikan bagain hulu (luan) dan bagian hilir (teben).

Pengaturan pola tata ruang rumah dan pekarangan (pola mikro) yang ada di Desa Ubud secara umum masih menunjukkan adanya konsep tri hita karana, tri angga dan nawa sanga. Hal ini dapat dilihat dari letak-letak dari bangunan-bangunan perumahan masih berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut. Disamping terdapat ketentuan diatas di Desa Ubud berlaku penamaan kompleks bangunan-bangunan perumahan berdasarkan stratifikasi sosial suatu keluarga. Diantaranya terdapat komplek bangunan geria, puri, jero dan umah.

Perkembangan sektor jasa terutama pariwisata di Desa Ubud sangat berpengaruh pada pola ruang yang terbentuk.

Kenyataan sekarang rumah-rumah adat yang semula biasanya hanya berfungsi untuk kegiatan adat atau ritual keagamaan, kini berkembang menjadi kegiatan bidang jasa pariwisata. Sehingga tiap ruang yang ada semakin efektif dan ekonomis.

Pola tata ruang Desa Ubud

Konsep Tri Hita Karana selain diterapkan dalam lingkup rumah dan pekarangan juga diterapkan dalam lingkup yang lebih luas seperti desa.

Pola susunan tata ruang Desa Ubud secara umum masih memperlihatkan ciri-ciri konsep Tri Hita Karana meskipun tidak secara tegas (distingtif). Perwujudan konsep tersebut, misalnya dapat dilihat pada wilayah desa (palemahan) seperti sarana dan prasarana desa yang meliputi bangunan-bangunan bagi aktivitas sosial, misalnya; rumah penduduk, balai desa, banjar, pasar dan lain-lain menjadi salah satu bagian dari pencerminan konsep Tri Hita Karana. Selain itu dari segi manusianya (pawongan) yaitu warga Desa Ubud, di desa ini terdapat pura peribadatan desa sebagai bagian dari parhyangan. Di Desa Ubud pura peribadatan desa juga terdiri atas : pura puseh, bale agung, dan pura dalem beserta kuburannya.

Kegiatan ekonomi di sektor jasa seperti perdagangan baik penjajaan barang-barang konsumsi lokal, maupun kepariwisataan, cenderung berkembang di sepanjang jalan utama desa. Kegiatan ekonomi ini ditandai dengan dibangunnya toko-toko, toko kesenian (art shop), restorasi dan warung-warung kecil lainnya menyebabkan ruang-ruang yang semula kosong di sepanjang pinggiran jalan utama menjadi padat dengan bangunan tersebut. Pola dasar tradisional sebagai pencerminan struktur perkampungan desa menjadi semakin kabur.

KESIMPULAN

Terdapat tiga kelompok nilai dalam konsep tradisional tentang tata ruang di Desa Ubud, yaitu nista, madia dan utama.

Terjadi pergeseran tata ruang baik dari pola mikro maupun pola makro yang ada di Desa Ubud. Penyebab utama terjadinya pergeseran tata ruang ini adalah berkembangnya sektor kepariwisataan di Desa Ubud.

Walaupun telah terjadi pergeseran tata ruang, namun masyarakat Desa Ubud masih berusaha menunjukkan prinsip-prinsip pokok yang menjadi pedoman pemanfaatan ruang yaitu masih diperhitungkannya standar-standar luan-teben sebagai dasar tata ruang bagi kebutuhan wisatawan.

SARAN

Perlu dilakukan upaya perlindungan dan pelestarian terhadap seni tata ruang tradisional di Desa Ubud Bali sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa yang mampu menunjukkan identitas bangsa.

Konsep tata ruang yang ada di Desa Ubud perlu dipertahankan mengingat kosep ini sangat sesuai sebagai upaya pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Tata Cara Mebangun Perumahan. Bali: Yayasan Bali Galang. http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-perumahan.htm

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta

Arsana, I Ketut Gde, et al. 1992. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat Di Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bandem, Made, I, Dr. 1992. Peranan Seniman Dalam Masyarakat dalam Konggres Kebudayaan 1991: Warisan Budaya: Penyaringan dan pemeliharaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bintarto. 1983. Interaksi Desa dan Kota dan permasalahannya. Jakarta: Ghalic Indonesia

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Adat Istiadat Daerah Bali. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan

Diparda Bali. 1999. Profil Bali. Denpasar: Pusat Sistem Informasi-depparsenibud.

http://www.denpasar.go.id/new/main.php?act=i_opi&xid=23

Jayadinata, T. Johara. 1986. Tata Guna Lahan dalam Perencanaan Perdesaan. Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat.1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Red. Jakarta: Djambatan

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kayam, Umar. 1981: Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: PT. Djaya Pirusa

Parwata, I Wayan. 2004. Dinamika Permukiman Perdesaan Pada Masyarakat Bali. Denpasar: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Tuldi, Prof. Dr. Nani, et al. 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata: CV. Mitra Sari


SONG OSONG LOMBHUNG: Penggalian Jati Diri Bangsa Melalui Tradisi Partisipatif Masyarakat Madura

Oleh: Siti Patimah & Naila Firdausyah
Song osong lombhung merupakan istilah gotong royong yang ada di lingkungan masyarakat Madura. Gotong royong dapat terwujud dalam semangat kebersamaan. Gotong royong juga menunjukkan akan adanya kehidupan yang rukun dan damai dalam masyarakat. Kehidupan gotong royong yang masih kental dapat ditemukan pada masyarakat Desa Patereman Madura, Bangkalan. Dalam kehidupan masyarakat ini terdapat berbagai bentuk gotong royong yang meliputi berbagai bidang kehidupan.

1. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu kekuatan yang dimiliki dan telah terbukti sangat besar manfaatnya dalam sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah gotong-royong (Buwono dalam Sugiarto, 2004).

Adanya semangat kebersamaan dan gotong royong menunjukkan kehidupan yang rukun dan damai dalam masyarakat, karena gotong royong tidak akan ada kalau tidak ada kerukunan dan kedamaian itu (Buwono dalam Sugiarto, 2004).

Sekarang telah terjadi perubahan sistem gotong royong atau gotong royong kepada sistem upahan. Bahkan ada bentuk gotong royong yang sudah punah, makin menghilang dari kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat (1974: 61).

Mudjadi, et. All (1997), menyebutkan bahwa beberapa kebudayaan Suku Madura sudah berangsur-berangsur ditinggalkan oleh masyarakat, akibat proses pembangunan yang memberi pegaruh besar bagi kehidupan masyarakat tradisional Madura.

Budaya gotong royong dalam lingkungan masyarakat Madura sering disebut sebagai song osong lombhung. Kehidupan gotong royong ini masih dapat diamati dalam kehidupan masyarakat Desa Patereman.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana karakter sosial budaya masyarakat Desa Patereman, Madura?

2. Bagaimana bentuk gotong royong yang ada di lingkungan masyarakat Desa Patereman, Madura?

3. Bagaimana eksistensi gotong royong di lingkungan masyarakat Desa Patereman, Madura?

C. Tujuan

1. Untuk mengidentifikasi karakter sosial budaya masyarakat Desa Patereman, Madura.

2. Untuk mengidentifikasi dan menganalisa bentuk gotong royong yang ada di lingkungan masyarakat Desa Patereman, Madura.

3. Untuk menganalisa eksistensi sistem gotong royong di lingkungan masyarakat Desa Patereman, Madura.

D. Ruang lingkup

a. Ruang lingkup materi

Karakter sosial budaya, bentuk-bentuk gotong royong, dan eksistensi sistem gotong royong dalam masyarakat Desa Patereman, Madura.

b. Ruang lingkup wilayah

Desa Patereman, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura.

II. TELAAH PUSTAKA

A. Kebudayaan

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996: 72).

B. Gotong royong

Gotong royong adalah bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dengan asas timbal balikyang mewujudkan adanya keteraturan sosial dalam masyarakat. Gotong royong ini dapat terwujud dalam bentuk spontan, dilandasi pamrih, atau karena memenuhi kewajiban sosial. Tujuan dari bentuk kerjasama itu dapat beraneka ragam sesuai dengan bidang dan kegiatan sosial itu (Lakebo, at. All, 1982: 2).

III. METODE PENULISAN

A. Jenis penelitian

Penelitian eksploratif dengan pendekatan penelitian secara kualitatif.

B. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, pengamatan langsung ke lapangan (observasi lapangan), dan wawancara.

IV. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Patereman, Madura

Sebagian besar masyarakat Desa Patereman berpendidikan SD dan SLTP, yaitu mencapai 70,65% dari total penduduk di Desa Patereman. Agama islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk (99,89%), sedangkan untuk mata pencaharian penduduk sekitar 53% bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Sistem nilai dan pandangan hidup masyarakat di Desa Patereman, secara umum sesuai dengan ketentuan atau norma yang mengikat dalam sebuah desa di Madura pada umumnya, yaitu sentimen kesatuan tempat tinggal, kesatuan adat istiadat yang mengikat kehidupan warga desa, dan sentimen persamaan agama dengan berpangkal pada persona ulama atau kyai yang berpengaruh di desanya.

B. Bentuk gotong royong dalam masyarakat Desa Patereman Madura

Latar belakang munculnya song osong lombhung di Desa Patereman, Madura adalah rasa persaudaraan yang sangat kental, serta tingginya rasa sosial yang ada di lingkungan masyarakat Desa Patereman. Prinsip gotong royong yang ada di Madura adalah tanpa adanya upah, untuk kepentingan pribadi atau bersama.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa song osong lombhung dalam masyarakat Desa Patereman dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan, yang meliputi:

1. Bidang ekonomi dan mata pencaharian, yaitu tos otosen dan rokat tase’.

2. Bidang teknologi dan perlengkapan hidup, yaitu royongani>.

3. Bidang kemasyarakatan, yaitu jung rojung, ka’ajegen, kadhisah, run dhurun >dan style="">rembugen.p>

4. Bidang religi dan kepercayaan, yaitu style="">ka’ajegen. color="red">

C. Eksistensi gotong royong dalam kehidupan masyarakat Desa Patereman, Madura</o:p>

Kehidupan gotong royong yang ada di Desa Patereman masih dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. >

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui terdapat berbagai bentuk yle="">song osong lombhung yang ada di Desa Patereman di antaranya adalah yle="">tos otosen, rokat tase’, royongan, jung rojung, ka’ajegen, kadhisah, run dhurun,> dan rembugen. Dari berbagai bentuk style="">song osong lombhung tersebut tidak semua masih dilakukan dalam kehidupan masyarakat Desa Patereman. Bentuk-bentuk style="">song osong lombhung yang masih dilakukan di antaranya adalah style="">tos otosen, royongan, jung rojung, ka’ajegen, kadhisah, o:p>

V. PENUTUPA. Kesimpulan>ont>

Song osong lombhungt>nt lang="IN" > dalam masyarakat Desa Patereman dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan, yaitu bidang ekonomi dan mata pencaharian, teknologi dan peralatan hidup, kemasyarakatan, serta religi dan kepercayaan.

Tidak semua bentuk song osong lombhung di Desa Patereman masih dilakukan saat ini.

Terdapat nilai-nilai yang menjiwai sistem gotong royong dalam masyarakat Desa Patereman sehingga tetap terlestarikan, yaitu nilai kebersamaan, kekeluargaan, rasa sosial, demokrasi, dan saling menghormati.

B. Saran

Gotong royong memiliki potensi kuat dalam proses pembangunan dan mewujudkan persatuan masyarakat sehingga diperlukan suatu upaya untuk tetap mempertahan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

References

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Monografi Desa Patereman. Pemerintah Daerah Kecamatan Modung

Anonim. 2004. Walikota Canangkan Bulan Bhakti Gotong Royong. http://www.sapos.co.id/berita/index.asp?id=25036. Diakses Tgl 16 Februari 2006

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Geriya, Wayan, & Abu.1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyrakat Pedesaan Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Lakebo, Berthin, dkk.1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyrakat Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Mudjadi, dkk. 1997. Adat Istiadat Daerah Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Oetomo, Andi. 1994. Mencari Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan Kota di Indonesia. Jurnal PWK, No. 14/ Agustus 1994, Hal 15-20

Parwoto. 1997. Pembangunan Partisipatif. Hal. 1-26

Sugiarto. 2004. Sultan HB: Gotong Royong Besar Manfaatnya. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0405/19/dar10.htm. Diakses Tgl 16 Februari 2006

Suherman, Tatang, 4004. Berpaling Kembali pada Kearifan Lokal. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0404/12/teropong/resensi_buku.htm. Diakses Tgl 1 Mei 2006